Hari ini hujan turun lagi. Tidak jua
mereda sedari pagi. Lebat membasahi bumi, aku hanya bisa duduk berlipat kaki,
dagu bertopang memandang lebat hujan yang turun. Dua tangan menggenggam erat
selimut tua, menghangatkan tubuh. Di atas balai-balai bambu yang mulai keropos.
Sesekali bibir kutersenyum senang,
tingkah katak-katak kecil bermain hujan, mengundang liar imajinasi. Lain waktu,
saya menggigil menahan dingin. Bayu berhembus perlahan. Seperti pasak-pasak
tajam batangan es, menghujam tulang belulang.
Syuuuh…
Wuush…
Menggoyangkan dedaunan di
pohon-pohon rindang. Memaksa batang-batang pada rumpun padi menari riang.
Senyum kusemakin merekah. Papa
pulang berbasah-basah. Kuyup sekujur badan. Meski caping melekat di kepala.
Papaku nampak gagah. Melangkah
santai menorobos hujan.. Membawa bungkusan. Apa ya, isinya?
“nak!” Pria tua tersenyum menyapa.
“Ambilkan Papa handuk, Nak!”
Saya mengangguk. Berkelumun selimut
saya memasuki gubuk. Datang lagi membawa handuk. Handuk yang awalnya putih kini
berwarna coklat kekuningan.
“Papa bawa apa?” aku pengen tahu,
siapa tahu papa bawa makanan yang banyak. Dingin ini membuatku lapar. Hehehe…
“Tadi,” Papa angkat plastik hitam
besar. “Air sungainya meluap. Papa lihat banyak ikan. Nih… dibersihin, ya!”
Aku mengangguk senang. Melepas
selimut, bergegas menerima bungkusan.
Di dekat rak besar ada tatakan kayu,
juga pisau dan parang. Tangan-tangan ini pun lincah membersihkan ikan. … hihihi,
bisa kenyang nih!
Sejenak tegak termangu. Dua tangan
melipat ke dada, jari jemari sama meremas bahu. Menahan sedih pilu yang
menggunung. Nanar menatap gundukan tanah yang masih basah. Air mata mengalir di
balik kaca mata. Saru. Samar…
Memutar tubuh. Melangkah
meninggalkan meninggalkan papa, sunyi…
Saya kembali mengusap kedua mata.
Jalanan ini terasa lengang. Tangis ku tak bersuara
***
Ah sudahlah, saya menari riang. Kaki
telanjangku menapaki jalan kecil berlumpur. Udara dingin tidak masalah.
Aku tetap ayunkan langkah, lenggang centil mengajak alam. Titik-titik air
berkilauan di tepi dedaunan. Kupu-kupu kuning terbang bergerombol.
Aku menari kembangkan tangan. Hirup
kesegaran udara . Langit sudah terlihat. Ahh… begitu indah. Cerah. Aku tak
henti-hentinya bersenandung. Menari lagi, bernyanyi lagi. Dalam dekapan
pucuk-pucuk muda daun singkong. Buat lalapan malam nanti. Hihihi… aku
kekenyangan nih nanti. Ada ikan, juga daun singkong.
Petik lagi petik lagi. Daun singkong
kupetik lagi. Singkong liar siapa yang punya?
Aku memandang sekeliling. Sepi.
Mengangkat kedua bahu. Gak ada yang punya! Hihihi… petik lagi daun singkong
kupetik. Eeh…!? Aku menengadah, menatap tinggi langit di atas. Senyumku
terukir indah. Hihihi… singkong liar Gusti Allah yang punya. petik lagi
petik lagi.
Kebun dan jalan… semua sunyi
Tidak seorang berani lalu
Tik tik tik… hujan turun dalam
selokan…
“Eeh! Siapa itu?”
Aku berhenti menari, berhenti
bersenandung. Sebuah mobil mewah meluncur pelan mendekati. Menerobos jalanan
berlumpur. Bukan aspal.
Mobil berhenti. Seorang pemuda
keluar dari dalam mobil. Menghampiri ku yang lagi bengong. Ndak pernah ada
mobil bagus ke sini. Siapa ya?
“Adik,” panggil pemuda itu setengah
membungkuk, tersenyum menatap “Maaf, Kakak mau nanya, boleh?!”
Ooh… orang nyasar! Hihihi. Aku mengangguk, mendekap pucuk-pucuk singkong dengan kedua
tangan.
“Ngg, adik tahu gak, rumahnya Pak
Ali?” lelaki itu bertanya sembari membelai lembut bahuku yang sedikit basah
oleh titik-titik hujan.
“Pak Ali?!” Sepasang alis berkerut
ke bawah.
“Iya!” pemuda itu tersenyum lagi
menanggapi tingkah ku itu. “Ngg, dia punya anak perempuan.!”
Eeh… “Ngg, Kak itu nama Papaku.” Meski bingung aku mencoba menjawab
dengan sopan.
Matanya terbelalak. Tubuh meremang
dalam senang tak terucap. Tidak peduli tanah becek mengotori sepatu dan celana
mahalnya. Tidak peduli pada tubuh ku yang lembab dan kotor juga. Pemuda ini
langsung memeluk ku dalam dekapan. Berlutut.
“dek!” Gemetar bibir berucap, di
sela haru menguasai diri. “Dek, masih ingat sama kakak enggak.” Pemuda itu
mendekap pipi ku dengan kedua tangan.
Aku bingung. Tidak mengerti. Hanya
berdiri terpaku meski ia memelukku penuh kasih, dalam ratap haru yang terlihat
jelas. Sesegukkan mengguncang badan.
“Enngg… Ka—kak, jelek deh! Nangis
kek gitu!” aku nya manyun. Bibir monyong memancing senyum.
Lagi-lagi pemuda ini tak kuasa untuk tidak tertawa. Hadirkan suara
mendengus kencang, menahan tawa dan haru sekaligus dalam diri.
“Di–mana Papa,?!?” sambil melepas
kaca matanya, ia mengusap mata yang basah, dan mengenakan lagi kaca mata itu.
“Itu…” aku menunjuk ke sisi kiri. Di
sana, di tengah hamparan padi yang mulai menguning. Sebuah gubuk bambu.
“Ayoo,!” Ajaknya
“Oh
iya, kakak ini iyhon, uda inget blm dek?”
”emang kita pernah ketemu ya kak ?”
Benar saja, tanpa ada aba” ia
langsung menggandeng tanganku. Melangkah menuju gubuk bambu. Bentangan langit
nan biru sejauh mata memandang mulai beranjak menutupi pekatnya awan hitam.
Basah berkilau butir-butir air hujan. Kicau burung-burung menyambut cerahnya
langit. Nyanyian katak riuh-rendah dalam kubangan. Deru riam aliran air,
mengalun indah menemani langkah. Unggas-unggas air berenang riang, mandi-mandi
basahi bulu. Kejar, selam, menangkap ikan.
***
Pria tua terpaku hening. Meski bibir
bergetar, tak sebarang kata mampu terucap. Hanya lelehan bening di kedua sudut
mata saja yang mampu menjelaskan. Pria tua… berduka. Sakit mengetahui bahwa ia
harus pergi meninggalkan istri demi anak gadis tercinta. Meski… jauh. Namun
cinta di hati, tak pernah dipungkiri. Tak pernah terganti. Tiada sekali jua ia
khianati.
Yang mampu dilakukan, hanya
memelukku dalam dekapan. Perlahan isak tangis penuhi ruangan.
“Lho kok Papa nangis?” Tangisan papa
memancing bulir-bulir suci untuk tumpah. Mengguncang tubuhku. “Kakak itu juga!”
Pemuda yang tadi itu sungguh tak kuasa. Menahan keharuan ini?
Menahan gelora indah dalam kesedihan ini? Sungguh tak bisa. Ia bersimpuh di
lantai gubuk. Biarlah berkotor-kotor dengan tanah, asalkan pelukan ini nyata
adanya.
***
“Kamu uda siap,Dek?” Pemuda itu
tersenyum memandangku. Berdiri di samping pintu mobil yang terbuka.
Aku hanya asyik memandang sisa hujan
yang tadi. Tak jauh, papa datang membawakan ku sesuatu. Dua tangan sama
mengembang. Gaun kesukaanku menyelimuti badan ini. Aku menengadah. Hamparan
langit sore begitu bermakna. Indah tak terlukiskan. Tuhan… terima kasih.
Udah memberi ku seorang Papa yang baik. Makaaasih ya, Tuhan. Aku tersenyum
menunduk. Menatap alam yang selama ini akrab mengajaknya berdendang.
“Nanti kita berjumpa lagi…!” Suara
lengking lantang bergema. Sesiur angin menjawab ucapan. Lambaian rumpun padi seakan
ikut melepas kepergian. Burung-burung pipit serentak terbang mengangkasa.
Menyibak ke sana, ke mari.
Papa datang menghampiri. Bersalin
pakaian lebih rapi. Satu tas ia pikul. Tidak terlalu besar. Pemuda itu menyongsong. Membawakan tas tersebut, menaruhnya
ke dalam mobil.
“Masuk dulu gih, dek!” ucapnya
padaku.
“Aku duduk di depan ya, Kak!”
Pintaku. Ia mengangguk mengabulkan.
“Ayo, Pah...Hujannya udah turun lagi
nih.”
Papa mengangguk, cepat masuk ke
dalam mobil di bangku belakang.
Curah hujan semakin lebat, rona
langit yang tadi cerah begitu cepat mengelam. Seiring laju mobil meninggalkan
hamparan sawah di belakang. Seolah ikut bersedih karena kepergian kami bertiga.
Dalam hening lalu aku bernyanyi
Tik tik
tik hujan turun bagai bernyanyi
Saya
dengarkan tidaklah jemu
Kebun dan
jalan, semua sunyi
Tidak
seorang berani lalu
Tik tik
tik… bunyi hujan…
0 comments:
Post a Comment