Recent Posts

Wednesday, March 25, 2015

Hujan



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiI8EAPtUAStAW7wBWPaQ0mmG5YWhC9QgRwryYiKIi6uRN1ZY9lV8-vjCAfVc12AqPeesnlmfya9Hg7fkIihSJWOYwRzL5acy39XXZiqlaUZD7nmzN_zAGfcJ493UxGX3oQc7tO1NrBS_Q/s320/hujan1%5B1%5D.jpg
 
Hari ini hujan turun lagi. Tidak jua mereda sedari pagi. Lebat membasahi bumi, aku hanya bisa duduk berlipat kaki, dagu bertopang memandang lebat hujan yang turun. Dua tangan menggenggam erat selimut tua, menghangatkan tubuh. Di atas balai-balai bambu yang mulai keropos.
Sesekali bibir kutersenyum senang, tingkah katak-katak kecil bermain hujan, mengundang liar imajinasi. Lain waktu, saya menggigil menahan dingin. Bayu berhembus perlahan. Seperti pasak-pasak tajam batangan es, menghujam tulang belulang.
Syuuuh…
Wuush…
Menggoyangkan dedaunan di pohon-pohon rindang. Memaksa batang-batang pada rumpun padi menari riang.
Senyum kusemakin merekah. Papa pulang berbasah-basah. Kuyup sekujur badan. Meski caping melekat di kepala.
Papaku nampak gagah. Melangkah santai menorobos hujan.. Membawa bungkusan. Apa ya, isinya?
“nak!” Pria tua tersenyum menyapa. “Ambilkan Papa handuk, Nak!”
Saya mengangguk. Berkelumun selimut saya memasuki gubuk. Datang lagi membawa handuk. Handuk yang awalnya putih kini berwarna coklat kekuningan.
“Papa bawa apa?” aku pengen tahu, siapa tahu papa bawa makanan yang banyak. Dingin ini membuatku lapar. Hehehe…
“Tadi,” Papa angkat plastik hitam besar. “Air sungainya meluap. Papa lihat banyak ikan. Nih… dibersihin, ya!”
Aku mengangguk senang. Melepas selimut, bergegas menerima bungkusan.
Di dekat rak besar ada tatakan kayu, juga pisau dan parang. Tangan-tangan ini pun lincah membersihkan ikan. … hihihi, bisa kenyang nih!


Sejenak tegak termangu. Dua tangan melipat ke dada, jari jemari sama meremas bahu. Menahan sedih pilu yang menggunung. Nanar menatap gundukan tanah yang masih basah. Air mata mengalir di balik kaca mata. Saru. Samar…
Memutar tubuh. Melangkah meninggalkan meninggalkan papa, sunyi…
Saya kembali mengusap kedua mata. Jalanan ini terasa lengang. Tangis ku tak bersuara
***

Ah sudahlah, saya menari riang. Kaki telanjangku  menapaki jalan kecil berlumpur. Udara dingin tidak masalah. Aku tetap ayunkan langkah, lenggang centil mengajak alam. Titik-titik air berkilauan di tepi dedaunan. Kupu-kupu kuning terbang bergerombol.
Aku menari kembangkan tangan. Hirup kesegaran udara . Langit sudah terlihat. Ahh… begitu indah. Cerah. Aku tak henti-hentinya bersenandung. Menari lagi, bernyanyi lagi. Dalam dekapan pucuk-pucuk muda daun singkong. Buat lalapan malam nanti. Hihihi… aku kekenyangan nih nanti. Ada ikan, juga daun singkong.
Petik lagi petik lagi. Daun singkong kupetik lagi. Singkong liar siapa yang punya?
Aku memandang sekeliling. Sepi. Mengangkat kedua bahu. Gak ada yang punya! Hihihi… petik lagi daun singkong kupetik. Eeh…!? Aku menengadah, menatap tinggi langit di atas. Senyumku terukir indah. Hihihi… singkong liar Gusti Allah yang punya. petik lagi petik lagi.
Kebun dan jalan… semua sunyi
Tidak seorang berani lalu
Tik tik tik… hujan turun dalam selokan…
“Eeh! Siapa itu?”
Aku berhenti menari, berhenti bersenandung. Sebuah mobil mewah meluncur pelan mendekati. Menerobos jalanan berlumpur. Bukan aspal.
Mobil berhenti. Seorang pemuda keluar dari dalam mobil. Menghampiri ku yang lagi bengong. Ndak pernah ada mobil bagus ke sini. Siapa ya?
“Adik,” panggil pemuda itu setengah membungkuk, tersenyum menatap “Maaf, Kakak mau nanya, boleh?!”
Ooh… orang nyasar! Hihihi. Aku mengangguk, mendekap pucuk-pucuk singkong dengan kedua tangan.
“Ngg, adik tahu gak, rumahnya Pak Ali?” lelaki itu bertanya sembari membelai lembut bahuku yang sedikit basah oleh titik-titik hujan.
“Pak Ali?!” Sepasang alis berkerut ke bawah.
“Iya!” pemuda itu tersenyum lagi menanggapi tingkah ku itu. “Ngg, dia punya anak perempuan.!”
Eeh… “Ngg, Kak itu nama Papaku.” Meski bingung aku mencoba menjawab dengan sopan.
Matanya terbelalak. Tubuh meremang dalam senang tak terucap. Tidak peduli tanah becek mengotori sepatu dan celana mahalnya. Tidak peduli pada tubuh ku yang lembab dan kotor juga. Pemuda ini langsung memeluk ku dalam dekapan. Berlutut.
“dek!” Gemetar bibir berucap, di sela haru menguasai diri. “Dek, masih ingat sama kakak enggak.” Pemuda itu mendekap pipi ku dengan kedua tangan.
Aku bingung. Tidak mengerti. Hanya berdiri terpaku meski ia memelukku penuh kasih, dalam ratap haru yang terlihat jelas. Sesegukkan mengguncang badan.
“Enngg… Ka—kak, jelek deh! Nangis kek gitu!” aku nya  manyun. Bibir monyong memancing senyum.
Lagi-lagi pemuda ini  tak kuasa untuk tidak tertawa. Hadirkan suara mendengus kencang, menahan tawa dan haru sekaligus dalam diri.
“Di–mana Papa,?!?” sambil melepas kaca matanya, ia mengusap mata yang basah, dan mengenakan lagi kaca mata itu.
“Itu…” aku menunjuk ke sisi kiri. Di sana, di tengah hamparan padi yang mulai menguning. Sebuah gubuk bambu.
“Ayoo,!” Ajaknya
Oh iya, kakak ini iyhon, uda inget blm dek?
”emang kita pernah ketemu ya kak ?”
Benar saja, tanpa ada aba” ia langsung menggandeng tanganku. Melangkah menuju gubuk bambu. Bentangan langit nan biru sejauh mata memandang mulai beranjak menutupi pekatnya awan hitam. Basah berkilau butir-butir air hujan. Kicau burung-burung menyambut cerahnya langit. Nyanyian katak riuh-rendah dalam kubangan. Deru riam aliran air, mengalun indah menemani langkah. Unggas-unggas air berenang riang, mandi-mandi basahi bulu. Kejar, selam, menangkap ikan.
***



Pria tua terpaku hening. Meski bibir bergetar, tak sebarang kata mampu terucap. Hanya lelehan bening di kedua sudut mata saja yang mampu menjelaskan. Pria tua… berduka. Sakit mengetahui bahwa ia harus pergi meninggalkan istri demi anak gadis tercinta. Meski… jauh. Namun cinta di hati, tak pernah dipungkiri. Tak pernah terganti. Tiada sekali jua ia khianati.
Yang mampu dilakukan, hanya memelukku dalam dekapan. Perlahan isak tangis penuhi ruangan.
“Lho kok Papa nangis?” Tangisan papa memancing bulir-bulir suci untuk tumpah. Mengguncang tubuhku. “Kakak itu juga!”
Pemuda yang tadi itu  sungguh tak kuasa. Menahan keharuan ini? Menahan gelora indah dalam kesedihan ini? Sungguh tak bisa. Ia bersimpuh di lantai gubuk. Biarlah berkotor-kotor dengan tanah, asalkan pelukan ini nyata adanya.
***
“Kamu uda siap,Dek?” Pemuda itu tersenyum memandangku. Berdiri di samping pintu mobil yang terbuka.
Aku hanya asyik memandang sisa hujan yang tadi. Tak jauh, papa datang membawakan ku sesuatu. Dua tangan sama mengembang. Gaun kesukaanku menyelimuti badan ini. Aku menengadah. Hamparan langit sore begitu bermakna. Indah tak terlukiskan. Tuhan… terima kasih. Udah memberi ku seorang Papa yang baik. Makaaasih ya, Tuhan. Aku tersenyum menunduk. Menatap alam yang selama ini akrab mengajaknya berdendang.
“Nanti kita berjumpa lagi…!” Suara lengking lantang bergema. Sesiur angin menjawab ucapan. Lambaian rumpun padi seakan ikut melepas kepergian. Burung-burung pipit serentak terbang mengangkasa. Menyibak ke sana, ke mari.
Papa datang menghampiri. Bersalin pakaian lebih rapi. Satu tas ia pikul. Tidak terlalu besar. Pemuda itu  menyongsong. Membawakan tas tersebut, menaruhnya ke dalam mobil.
“Masuk dulu gih, dek!” ucapnya padaku.
“Aku duduk di depan ya, Kak!” Pintaku. Ia mengangguk mengabulkan.
“Ayo, Pah...Hujannya udah turun lagi nih.”
Papa mengangguk, cepat masuk ke dalam mobil di bangku belakang.
Curah hujan semakin lebat, rona langit yang tadi cerah begitu cepat mengelam. Seiring laju mobil meninggalkan hamparan sawah di belakang. Seolah ikut bersedih karena kepergian kami bertiga. Dalam hening   lalu aku bernyanyi
Tik tik tik hujan turun bagai bernyanyi
Saya dengarkan tidaklah jemu
Kebun dan jalan, semua sunyi
Tidak seorang berani lalu
Tik tik tik… bunyi hujan…

0 comments:

Post a Comment