Cukup
lama aku terdiam, hingga akhirnya aku berada dibalik jendela dan berkaca.
Aku
mulai bertanya pada diriku disisi yang berbeda. Tapi, aku tak mendapatkan
jawaban apa-apa.
Aku yang berada pada sisi yang berbeda itu,
nyatanya hanya menirukan apa yang aku tanyakan padanya. Rasanya begitu
sesak,layaknya terhimpit dikelamnya langit senja. Ketika anganku sendiri bahkan
pun tertahan untuk bersua.
Entah
sejak kapan, aku merasa diriku disisi yang lain itu mulai menatapku dengan
tatapan kikuk dan sayupan mata. Padahal aku baru saja ingin bercerita tentang
indahnya aurora.
Pffts..
Lamban
detik jarum jam bersamaan dengan degupan jantungku, mengisyarakan waktu yang terus
berjalan. Melemahkan langkahku yang kini mulai tertahan. Sekilas aku melihatnya
tersenyum, sepertinya dia menyembunyikan sesuatu yang tak bisa diungkapkan.
Memang
mengecewakan, tapi aku mulai menyukaimu dan itu dimulai dari saat ini. Tapi, ketika
aku menjauh dari jendela tempatku berkaca, dirimu juga seolah mulai pergi.
Apakah
ini caramu untuk membuatku menyerah, dan mengisyaratkan diri bahwa akulah yang
bersalah ?
Asal
tau saja aku tak akan mengalah. . .
Karenamu
aku mulai mencoba bertanya pada bulan yang nyaris sirna. Namun tak ada jawaban
yang nampak di pelupuk netra.
Yaa..
akhirnya dirimu benar-benar pergi, meninggalkanku sendiri. Tanpa kata tanpa
reaksi, tanpa pesan tuk terakhir kali.
Bulan
yang kala tadi nyaris sirna, saat ini mengintip dari sisi jendela yang berbeda.
Dia terlihat agak sendu, sambil sesekali melempar senyum merayu. Seolah
tahu gundahku.
Tak
usahlah merayuku, jika tanyaku pun tidak kau jawab.
Kecewa,
bulanpun ikut pergi diiringi langit gelap yang menutup berjuta bintang. . .
Akhirnya
aku harus sendiri, diantara celah dimensi yang mulai menyeringai.
Aku
berharap diriku yang lain, mulai keluar dari kaca jendela kamarku. Aku berharap
agar dia bisa disini bersama, dan selalu menemaniku.
Rasanya
aku akan mati, terbunuh oleh suatu penantian. Menantikan diri disisi berbeda
yang mulai mencampakanku. Di persimpangan masa silam, dan terpusarakan oleh
liang kehampaan.
Cukup
sampai disini saja.
Aku
telah terlahir dari kehampaan. Akupun telah berusaha mempelajari nafas, meski
diawali kepedihan. Aku melangkah, berjalan, dan berlari di risalah kematian.
Mencoba tuk menjadi seseorang yang menyatu dengan alam.
Sepiku
melewati batas angan dan asa di rantaian ronta luka.
Karenanya,
sudah tak kudapati rasa yang dulu menggebu.
Ketika
ingin adalah sebuah keharusan. Selayaknya awan yang menggenggam hujan.
Yah...
Aku
ingin agar dirimu berada di setiap kumelangkahkan kakiku.
Karena
aku tak ingin dirimu hanya berada dalam sisi kaca jendela kamarku, sekedar
mengikuti tingkah lakuku.
Aku
bahkan berharap, agar aku tahu cara untuk mengeluarkanmu dari sisi itu.
Jadi,
aku pun tak usah bersusah payah untuk mendekati kaca jendelaataupun kaca
lainnya agar bisa bertemu denganmu.
Kenapa?
Sebab,
aku telah benar-benar jenuh, sakit, dan cukup untuk dikecewakan.
Aku
butuh dirimu untuk menemani setiap hariku.
Seperti
halnya yang lain, aku pun butuh sebuah pelukan yang penuh kehangatan. Aku butuh
bahumu untuk bersandar sekaligus menguatkanku. Aku butuh senyumanmu yang mampu
menghapus lukaku. Aku butuh tenangmu yang mampu meredakan amarahku.
Aku
membutuhkanmu saat ini juga, bagaimanpun keadaannya.
Yaa..
Aku benar-benar membutuhkan dirimu, dirimu yang adalah diriku. Namun bertolak
belakang dengan aku yang diketahui oleh
mereka.
Mereka,
sekumpulan orang yang merasa paham akan diriku.
Mereka
yang bahkan menganggapku hanya sebagai beban nama yang terlupa. Sekedar bayang
yang tak terlihat, apalagi tertangkap oleh seseorang. Mereka menganggap bahwa
hadirku selalu samar dan tak nyata.
aku
pun menyadari, bahwa aku juga adalah sepi. Sepi yang tak pernah ingin didapati.
Bahkan
aku pun menjadi kenyataan pahit dalam serpihan mimpi.
Mungkin
inilah uraian, mengapa aku membutuhkan diriku pada sisi yang berbeda.
0 comments:
Post a Comment