Darahku mengalir dari
asa yang terluka...
Sedikit demi sedikit
mulai mengikis kebahagiaan yang ada.
Keluarga tanpa ikatan
darah yang kuakui dan benar adanya, nyatanya mulai berkelit, menyeringai,
bahkan mendusta.
Hanya dengan seorang,
beberapa orang lain yang bahkan berada di ujung pulau disana. Akhirnya mengganggap,
bahwa akulah si lambe turah.
Tahukah seberapa
kecewanya aku, atau perlukah aku berteriak lantang dan mengatakan semua gejolak
yang ada dalam dada?
Kekecewaan ini menderu
dera, menguntum manis diantara luka.
Haru bisu dan gelisah
antara nyanyian sunyi, bergema di tiap ruang dada. Berdentang menikan,
menggores serta menyayat.
Aku mencoba tersenyum
di pahitnya duka, seraya menahan torehan luka dalam kemilau senja,..
Dalam cahaya penuh
kharisma...
Aku coba mengulas rasa,
seberapa banyak salah yang telah mengusiknya.?
Pergilah...!!!
Aku sudah lelah, setiap
hari selalu gundah. Terbebani tentang semua kisah.
Kisah omong kosong
bualanmu, yang kau anggap sebagai cerita fiksi terindah.
Hadirmu bersama pulasan
kepalsuan, pun tertutup jubah kemunafikan. Merapuhkan jiwa ringkih tanpa
sandaran, mengisyaratkan bahwa hidup tak hanya sebuah peraduan.
Tidakkah kau tahu..
Selama ini aku tak
pernah melepaskan jubah bisuku. Jubah bisu diantara desaunya lakuku. Agar orang
lain tak ada yang tau masalah rumah tanggamu. Tapi dirimu, menggoyah hati untuk
berjalan menepi. Mendorong hati untuk mengatakan bahwa akulah pencundangnya
saat ini.
Bila masih sudi ilalang
bernyanyi, biarkan riaknya menyisir luka ini.
Sebelum malam berganti
pagi, kisah ini pun kututup sampai disini.